Dalam dinamikanya, partai politik kehilangan esensinya sebagai sebagai salah satu institusi politik yang memperjuangkan nilai dan ideologi. Sebelum era reformasi, segala bentuk perjuangan partai masih diisi oleh nilai-nilai politik yang bersifat membangun dan mencoba mentransformasikan sistem politik yang ada kepada sistem yang lebih relevan dan sesuai dengan kondisi sosial dan politik yang selalu mengalami perkembangan.
Era reformasi jelas memiliki alur cerita yang berbeda. Jika di akhir masa orde baru segala bentuk pertentangan elit politik secara umumnya adalah untuk menghadirkan sistem pemerintahan dan sistem politik yang dapat diterima oleh mayoritas masyarakat yakni terciptanya nilai-nilai demokrasi, maka di jaman reformasi dan bahkan di jaman terbaru ini yang sering disebut sebagai jaman milenial menyisakan kisah tragis.
Realitas politik kini bahwa salah satu alasan berpolitik adalah untuk mengamankan “bisnisnya”, baik secara langung ikut dalam perebutan kekuasaan atau sebagai pemodal bagi salah satu calon yang ikut dalam suatu kontestasi politik di daerah maupun di nasional.
Alhasil partai politik akan hanya di dominasi oleh kalangan-kalangan yang memiliki kepentingan khusus dan mengesampingkan fungsi dan esensi partai politik sebagai salah satu instrumen pembangunan politik dalam suatu negara. Partai politik kini pun menjadi menjadi penadah kepentingan bagi para calon yang memilki finansial yang kuat untuk ikut serta secara langsung dalam kontestasi politik.
Hal yang paling buruknya lagi, munculnya kebiasaan di beberapa partai untuk meminta dana atau secara umum disebut sebagai “mahar politik” agar partai tersebut bersedia dilamar dan berusaha memenangkan calon tersebut dengan mengarahkan basis massa yang dimiliki ataupun sebagai salah satu syarat batas perolehan suara di kursi parlemen.
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2018 ternyata juga menyisakan beberapa cerita. Permintaan mahar politik oleh partai sempat menjadi isu yang sering dibahas di berbagai kalangan masyarakat. Sebut saja La Nyalla Mattalitti berdasarkan catatan ICW (Indonesia Corruption Watch) mengaku pernah dimintai mahar politik sebesar 40 Miliar oleh Prabowo selaku Ketua Umum partai Gerindra.
Kedua adalah permintaan mahar oleh oknum partai Golkar semasa dibawah kepemimpinan Setya Novanto kepada Dedi Mulyadi pada kontestasi Pilkada serentak daerah Jawa Barat 2018. Mengingat Dedi Mulyadi yang juga sebagai salah satu kader potensial Golkar di daerah ternyata praktik mahar politik tidak ada sistem tebang pilih.
Untuk memenuhi hasrat atas kebutuhan finansial, beberapa partai (oknum) menjarah siapapun yang mencalon sebagai kepala daerah dari partai tersebut. Hal tersebut pun semakin menjadi suatu kebiasaan dan beberapa oknum dalam partai tersebut pun seakan mengamini hal yang sangat mencederai nilai-nilai demokrasi dewasa ini.
Ketiga, ada nama Brigjen (pol) Siswandi yang pernah mengaku gagal mengikuti kontetasi politik pada Pilkada Cirebon yang dikarenakan Partai PKS memintai mahar politik sebagai isyarat untuk dicalonkan dan didukung oleh PKS.
Praktik-praktik demikian jelas akan mengeliminasi masyarakat yang memiliki finansial yang rendah untuk ikut serta secara langsung dalam pesta demokrasi tersebut dimana pada kenyataannya juga tidak ada diatur di Undang-Undang bahwa masyarakat yang memiliki ekonomi mengengah ke bawah tidak bisa mengikuti kontestasi politik.
Tahun politik Indonesia semakin dekat dan euphoria ditengah masyarakat semakin menggelora. Pelaksanaan Pemilu dan Pilpres akan segera digelar pada tahun 2019 mendatang. Desas-desus mahar politik pun kembali mencuat.
Paling anyar, tersiar kabar bahwa calon Wakil Presiden Prabowo yakni Sandiaga Uno memberi mahar politik sebagai syarat pemulusannya untuk menjadi calon Wakil Presiden. Mahar politik tersebut diisukan mengalir ke partai PAN dan PKS.
Hal yang paling penting disoroti adalah bahwa biaya politik wajar adanya sebagai biaya operasional, namun pada titik ini tidak ada peraturan yang jelas dan sah yang mengatur tentang batasan biaya politik demikian. Alhasil beberapa partai bergerak sesuai inisiatif dan berdasarkan kepentingan mereka sendiri (dalam hal finansial) dalam menentukan segala bentuk biaya operasional tersebut.
Secara peraturan, memang telah diatur tentang larangan pemberian mahar politik oleh calon kepada partai seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 pasal 47 ayat (1) “partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.”
Kedua dalam skala Pilpres hal ini juga tidak mendapat perhatian khusus tentang praktik-praktik mahar politik. Pun tidak ada Undang-Undang yang mengatur secara jelas. Dengan keadaan seperti ini, pembangunan politik secara nyata tidak akan mengalami kemajuan dikarenakan sistem demikian yang selalu tumbuh dan mengakar dalam praktik politik dewasa ini.
Hingga kepada praktik korupsi pun tidak terhindarkan karena upaya membalikkan modal selama masa pencalonan oleh para calon yang nantinya terpilih secara terus-menerus semakin membudaya ditengah dinamika politik di Indonesia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Isu Mahar Politik Dari La Nyalla Sampai Sandiaga Uno"
✓ Jangan Lupa anda tinggalkan comment,karena Comment kalian Berharga Bagi saya
✓ Jika Blog ini Bermanfaat maka tidak ada salahnya untuk anda Share
✓ Manusia Jaman Sekarang Lebih Suka Membaca Informasi di Internet
✓ Jangan Fokus untuk memiliki Blog yang bagus,Fokuslah dalam membuat / Memposting konten konten / artikel artikel yang Bermanfaat